Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Penulis Buku Merawat Nalar Salim
Kehidupan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan fragmen—potongan-potongan kecil cerita yang membentuk narasi besar manusia. Dalam setiap langkah, ada hikmah yang tersembunyi, dalam setiap goresan, ada pesan yang tak kasat mata. Fragmen kehidupan mengajarkan kita untuk berjalan dengan kepala tegak, menghadapi dunia yang semakin congkak. Kepala yang tegak bukan sekadar tanda keberanian; ia adalah simbol keteguhan hati, keyakinan terhadap kebenaran, dan komitmen untuk melawan segala bentuk penyelewengan nilai yang melingkupi kita.
Namun, dunia tak selalu ramah pada mereka yang memilih jalan kebenaran. Seringkali, langkah kita terseok, dan kita terpaksa merangkak untuk maju. Tetapi bukankah merangkak lebih baik daripada hanya berdiri diam di tempat? Perjalanan, betapa pun lambatnya, tetap membawa kita lebih dekat pada tujuan, lebih jauh dari kejumudan yang mengungkung pikiran. Visi kemajuan, keberlanjutan, dan keberanian untuk membuka jalan baru adalah kunci untuk melampaui tantangan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia, kita dihadapkan pada tugas besar: menata hati dan pikiran. Dunia yang berserakan dengan masalah menuntut kita untuk mempertajam nalar dan memeriksa setiap langkah dengan seksama. Jalan yang kita lalui penuh dengan semak belukar; ia memerlukan kehati-hatian dan tekad. Menata hati adalah tentang menemukan ketenangan di tengah badai; menata pikiran adalah tentang membangun strategi yang bijaksana untuk menghadapi kompleksitas.
Setiap pencapaian dalam hidup ini membutuhkan proses. Bertahap mengurai masalah, bertahap menyelesaikannya satu per satu, adalah cara untuk mendekati kehidupan dengan realistis. Apa yang kita cari di dunia ini sejatinya hanyalah sehelai dari berjuta nikmat Tuhan. Hidup bukan tentang sekadar berapa banyak yang bisa kita kumpulkan, melainkan seberapa besar kita mampu memahami makna dari yang sedikit itu. Sebuah sehelai nikmat dapat membawa berjuta cerita, dan di setiap cerita Tuhan ada kepastian bahwa ia akan ditamatkan.
Dalam keheningan, kita merenungi goresan “Nun Wal Qalami Wa Maa Yasturun” (Demi pena dan apa yang mereka tuliskan). Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya catatan kehidupan, tentang segala yang kita ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di setiap goresan pena, ada tanggung jawab; di setiap jejak langkah, ada pertanggungjawaban. Pertanyaan “Alastu birabbikum” (Bukankah Aku Tuhanmu?) menjadi landasan spiritual yang mengikat kita pada kesadaran bahwa setiap fragmen kehidupan memiliki tujuan akhir. Pelabuhan terakhir kita adalah pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Fragmen kehidupan mengajarkan kita untuk tidak larut dalam kesedihan atau euforia. Hidup adalah perjalanan dinamis yang membutuhkan keseimbangan antara usaha dan doa, antara kerja keras dan kepasrahan. Setiap fragmen, baik itu luka atau tawa, adalah bagian dari mosaik kehidupan yang membentuk siapa kita sesungguhnya.
Dengan kepala tegak, kita terus melangkah. Dengan hati yang tertata dan pikiran yang terfokus, kita mengurai setiap simpul masalah yang mengikat. Dan dengan kesadaran akan nikmat Tuhan, kita berjalan menuju pelabuhan akhir, membawa serta harapan, doa, dan kerja keras. Kehidupan, dalam segala keindahan dan kepedihannya, adalah ladang perjuangan yang menuntun kita pada kesadaran tertinggi: bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Fragmen-fragmen kehidupan, pada akhirnya, bukan hanya potongan kecil cerita. Ia adalah perjalanan penuh makna, jalan yang penuh dengan pelajaran, dan titian yang membawa kita pada tujuan sejati. Setiap langkah adalah bentuk pengabdian, dan setiap usaha adalah wujud syukur. Maka, teruslah melangkah, teruslah merangkak jika perlu, karena hidup adalah tentang keberanian untuk terus maju, meski dunia seringkali congkak.