Oleh: Alvin Qodri Lazuardy/Pegiat Literasi
Fenomena maraknya “mental illness” atau gangguan kesehatan mental menjadi isu yang semakin mengemuka di era modern ini. Depresi, kecemasan, dan berbagai gangguan lainnya seolah menjadi bagian dari realitas hidup yang sulit dihindari. Di tengah arus perubahan dan tekanan kehidupan, manusia sering kali kehilangan arah dalam mencari kebahagiaan sejati. Dalam konteks ini, konsep Psiko-Qur’ani-Kebahagiaan dapat menjadi solusi yang relevan dan mendalam, menawarkan pendekatan yang menyeimbangkan antara aspek duniawi dan ukhrawi.
Psiko-Qur’ani-Kebahagiaan, yang menggabungkan nilai-nilai Al-Qur’an dengan wawasan psikologi modern, menawarkan perspektif baru tentang kebahagiaan. Tidak seperti kebahagiaan yang berorientasi pada pencapaian duniawi yang sering kali sementara, Psiko-Qur’ani-Kebahagiaan menekankan pentingnya keseimbangan jiwa yang berlandaskan spiritualitas dan koneksi dengan Allah. Dalam Al-Qur’an, kebahagiaan sejati digambarkan sebagai kondisi jiwa yang tenang, atau al-nafs al-mutmainnah, yang hanya dapat dicapai melalui kepatuhan pada syariat dan keikhlasan dalam beribadah.
Fenomena mental illness banyak terkait dengan ketidakmampuan manusia untuk menghadapi tekanan hidup, kekecewaan, dan kehilangan makna dalam hidup. Dalam banyak kasus, manusia mencari kebahagiaan di luar dirinya, melalui materi, status, atau pengakuan sosial, yang akhirnya tidak mampu memberikan kepuasan yang mendalam. Al-Qur’an memberikan pandangan bahwa kebahagiaan yang sejati tidak dapat ditemukan dalam hal-hal duniawi yang fana, melainkan dalam kedekatan dengan Allah dan pemenuhan nilai-nilai spiritual.
Dalam menghadapi mental illness, pendekatan Psiko-Qur’ani menawarkan jalan untuk kembali kepada keseimbangan jiwa. Al-Qur’an mengajarkan pentingnya menahan diri dari godaan duniawi dan fokus pada kehidupan akhirat. Hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyebutkan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir menekankan bahwa kebahagiaan duniawi bukanlah tujuan akhir. Orang mukmin diajarkan untuk menahan diri dari keinginan-keinginan yang dapat merusak jiwa, dan sebaliknya, mengejar kebahagiaan yang abadi di akhirat.
Dalam konteks mental illness, pendekatan ini mengajarkan pentingnya pengendalian diri, ketenangan batin, dan koneksi spiritual yang kuat. Dengan menahan diri dari keinginan duniawi yang berlebihan dan berfokus pada kebahagiaan ukhrawi, seseorang dapat menemukan kedamaian jiwa yang sejati. Psiko-Qur’ani-Kebahagiaan mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak hanya tentang merasa senang atau puas, tetapi tentang menemukan makna hidup yang mendalam dan hubungan yang kuat dengan Allah.
Dalam menghadapi fenomena mental illness, penting bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Dengan mengintegrasikan pendekatan psikologi dan nilai-nilai Qur’ani, kita dapat menemukan cara yang lebih holistik untuk mengatasi tekanan hidup dan menemukan kebahagiaan sejati. Psiko-Qur’ani-Kebahagiaan adalah jalan menuju keseimbangan jiwa yang tidak hanya memberikan ketenangan di dunia, tetapi juga kebahagiaan abadi di akhirat.
Sumber:
Didi Junaedi, Ayat-ayat Kebahagiaan: Tuntunan Psikologi Qur’ani untuk Hidup Lebih Tentram dan Bermakna, Qaf Media