Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Ka. SMP At-Tin UMP Kab. Tegal
Dalam dinamika kehidupan, manusia dianugerahi kemampuan unik yang membedakannya dari makhluk lainnya—akal. Akal ini, yang memungkinkan manusia untuk berbicara, berpikir, dan merenung, menjadi pintu gerbang utama dalam memahami komunikasi Allah. Allah tidak hanya berbicara kepada manusia melalui firman yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi juga melalui alam semesta dan tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ciptaan. Komunikasi ini hadir dalam berbagai bentuk, mencerminkan kebesaran dan kelembutan Allah, serta mengundang manusia untuk merenung lebih dalam.
Allah menyampaikan pesan-pesan-Nya dengan beragam pola, sesuai dengan konteks dan tujuan tertentu. Ada kalanya Allah memberikan perintah yang tegas, seperti melalui ayat-ayat yang bersifat amr (instruksi), di mana manusia diminta untuk taat tanpa tawar-menawar. Di sisi lain, ada ayat-ayat yang mengandung larangan (nahyu), sebagai peringatan agar manusia menjauhi tindakan yang dapat merusak dirinya sendiri atau orang lain. Variasi dalam pola komunikasi ini menunjukkan bagaimana Allah memahami kompleksitas jiwa manusia, yang membutuhkan pendekatan berbeda untuk setiap situasi.
Tak hanya instruksi dan larangan, Allah juga menggunakan pola istikhbar dan istifham, di mana Dia menyampaikan informasi atau pertanyaan yang menggugah pikiran. Pertanyaan-pertanyaan retoris dalam Al-Qur’an sering kali diakhiri dengan frasa seperti “afalaa ta’qilun” (tidakkah kamu berpikir?), “afalaa tafakkarun” (tidakkah kamu merenung?), atau “afalaa tadabbarun” (tidakkah kamu memperhatikan?). Frasa-frasa ini bukan hanya sekadar retorika, tetapi merupakan ajakan halus untuk manusia agar menggunakan akalnya, merenung, dan mencari kebenaran dalam kehidupan.
Selain itu, Allah juga berkomunikasi melalui ajakan lembut (ardh) dan teguran keras (tahdhidh), menunjukkan dualitas dalam metode pengajaran-Nya—yang satu dengan kelembutan dan yang lain dengan ketegasan. Pada saat-saat tertentu, Allah berbicara melalui pola tamanni, mengungkapkan harapan agar manusia mengambil jalan yang benar. Allah juga bersumpah (qasm) dengan nama-Nya atau ciptaan-Nya, menekankan pentingnya pesan yang disampaikan dan mengajak manusia untuk memperhatikan dengan lebih serius.
Komunikasi Allah tidak berhenti pada pola-pola tersebut. Dia juga menggunakan pendekatan yang umum (’amm) dan khusus (khas), menyesuaikan pesan-Nya dengan situasi tertentu atau kelompok tertentu. Semua ini menunjukkan betapa mendalamnya pemahaman Allah terhadap manusia, dan bagaimana Dia mengarahkan mereka untuk merenungkan dan memaknai kehidupan dengan lebih dalam.
Namun, apa yang membuat komunikasi ini begitu kuat dan bermakna adalah keterlibatan akal manusia. Akal (‘aql) adalah karunia yang memungkinkan manusia untuk mengikat ilmu (‘ilm) yang didapatkan, memprosesnya menjadi pemahaman, dan kemudian bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut. Dalam Islam, akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga kompas moral yang membantu manusia membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Ini adalah substansi ruhaniah yang menghubungkan manusia dengan kebenaran Ilahi.
Dalam esensi terdalamnya, akal adalah pemandu menuju kebaikan, memberikan daya pilih (ikhtiyar) kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Kemampuan untuk memilih ini adalah salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan, karena melalui akal, manusia dapat menemukan jalan yang benar dan menjauhi keburukan.
Namun, akal juga mengingatkan kita bahwa manusia, meskipun memiliki potensi luhur, masih memiliki irisan dengan sifat hewani. Ini bukan dalam pengertian teori evolusi yang menganggap manusia sebagai hasil evolusi dari hewan, melainkan sebuah pengakuan bahwa manusia memiliki kecenderungan naluriah yang perlu dikendalikan oleh akal yang diberdayakan dengan ilmu dan petunjuk Ilahi.
Allah telah mengatur komunikasi-Nya sedemikian rupa agar manusia, dengan segala keterbatasannya dan kelebihannya (yang diberikan Allah), dapat memahami dan meresapi pesan-pesan-Nya. Dengan berpikir, merenung, dan menganalisis firman-Nya, manusia dituntun untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang mampu menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan dan ketakwaan. Akal manusia, ketika dipergunakan dengan benar, menjadi alat yang kuat untuk menapaki jalan menuju keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi.
Referensi:
Al-Attas, S. M. N. (2019). Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak. Ta’dib International.
Imam Haraiman Al Juwaini & Jalaluddin Mahalli, Syarah Waraqat Fi Ushulul Fiqh: Memahami Kaidah Asasi Hukum Islam, Tashih Terjemah K.H Afifuddin Muhajir, Penerbit Qaf: 2008