Penyusun: Jundi Rabbani/ Serambi Peradaban Forum
Setiap tahun, momentum Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan bangsa Indonesia akan nilai-nilai luhur yang membentuk fondasi kebangsaan. Pancasila, sebagai dasar negara, tak hanya menjadi pengikat dalam menjaga keragaman, namun juga menjadi landasan filosofis bagi kehidupan beragama di Indonesia. Namun, di balik kemegahan perayaan ini, ada realitas sejarah yang sering terlupakan atau kurang dibicarakan: kristenisasi pasca peristiwa G30S/PKI. Fenomena ini bukan hanya persoalan teologis, tetapi juga terkait erat dengan dinamika politik, sosial, dan budaya Indonesia pasca-1965. Peristiwa ini, yang sempat diuraikan oleh Mohammad Natsir, menjadi salah satu tantangan dakwah paling signifikan yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
“Fenomena ini bukan hanya persoalan teologis, tetapi juga terkait erat dengan dinamika politik, sosial, dan budaya Indonesia pasca-1965.”
Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang sangat disegani, memberikan analisis yang mendalam dalam bukunya Pesan Perjuangan Seorang Bapak mengenai kristenisasi di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa upaya kristenisasi di Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba pasca 1965, melainkan telah dimulai sejak zaman penjajahan VOC. Pada masa itu, para penjajah Belanda tidak hanya membawa agenda politik dan ekonomi, tetapi juga agenda misionaris yang dibawa oleh para zending dan misionaris Kristen. Namun, Natsir mencatat bahwa momentum besar kristenisasi di Indonesia terjadi justru setelah peristiwa G30S/PKI, ketika bangsa sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh baik secara politik maupun ideologi.
Pasca G30S/PKI, Indonesia tidak hanya menyaksikan pergeseran kekuasaan politik yang drastis, tetapi juga pergeseran sosial dan agama yang cukup signifikan. Menurut Natsir, peristiwa ini memberikan kesempatan besar bagi gerakan kristenisasi untuk berkembang pesat. Gereja-gereja, terutama di Pulau Jawa, berhasil menarik jutaan orang untuk memeluk agama Kristen dalam rentang waktu yang sangat singkat. Data ini diperkuat oleh pernyataan Jeff Hammond, seorang misionaris asal Amerika Serikat yang bekerja di Indonesia pada masa itu. Ia menyebutkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun (1965-1971), lebih dari tujuh juta orang di Pulau Jawa berpindah agama dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Angka ini sungguh luar biasa, mengingat situasi Indonesia yang masih berusaha pulih dari trauma politik dan sosial yang diakibatkan oleh peristiwa G30S/PKI.
Fenomena perpindahan agama secara massal ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa jutaan orang, yang sebelumnya beragama Islam, memutuskan untuk berpindah ke Kristen? Apakah ini semata-mata karena alasan spiritual, atau ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan mereka? Dalam hal ini, Averry T. Willis memberikan tiga faktor utama yang mempengaruhi perpindahan agama massal tersebut.
Pertama, reaction factor, di mana reaksi keras dan berlebihan dari beberapa kelompok Islam terhadap orang-orang yang pernah terlibat atau dituduh sebagai simpatisan PKI membuat mereka merasa terasing. Banyak dari mereka yang akhirnya mencari perlindungan spiritual dan politik di tempat lain, dan gereja menawarkan tempat yang aman bagi mereka. Pada masa itu, mereka yang diduga terlibat PKI sering kali menghadapi stigma dan bahkan kekerasan, sehingga mereka merasa lebih aman di bawah naungan gereja.
Kedua, protection factor, di mana gereja menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang tidak memiliki identitas agama yang kuat atau yang belum beragama secara penuh. Bagi mereka yang berada di wilayah abu-abu antara ideologi dan agama, gereja memberikan jaminan perlindungan dari penganiayaan dan stigma sosial. Gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga tempat perlindungan bagi mereka yang tersingkir dari masyarakat.
Ketiga, service factor, yaitu pelayanan sosial yang diberikan oleh gereja. Gereja tidak hanya menawarkan perlindungan spiritual, tetapi juga pelayanan nyata seperti pendidikan, bantuan medis, dan bantuan kebutuhan dasar lainnya. Di tengah krisis sosial pasca G30S/PKI, banyak orang yang membutuhkan bantuan fisik dan emosional, dan gereja hadir memberikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, perpindahan agama bukan hanya karena keyakinan teologis, tetapi juga karena pelayanan sosial yang nyata.
Tantangan kristenisasi ini, menurut Natsir, tidak hanya berasal dari dalam negeri tetapi juga didukung oleh organisasi dan perencanaan internasional yang terstruktur rapi. Bantuan terselubung dari luar negeri memperkuat gerakan ini, menjadikannya sulit untuk dipantau dan dihadapi secara efektif oleh umat Islam di Indonesia. Natsir menekankan bahwa kristenisasi merupakan tantangan besar yang harus dihadapi dengan serius oleh kekuatan dakwah di Indonesia.
Dalam konteks ini, Pancasila, sebagai ideologi negara yang melindungi keragaman agama, seharusnya menjadi alat untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan beragama. Namun, kristenisasi pasca G30S/PKI menunjukkan bahwa toleransi dan kebebasan beragama dapat dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu untuk memperluas pengaruh agama mereka. Di satu sisi, Pancasila harus menjamin kebebasan beragama bagi semua pihak, namun di sisi lain, negara juga harus waspada terhadap intervensi luar yang dapat merusak keseimbangan tersebut.
Bagi umat Islam, fenomena kristenisasi ini menjadi panggilan untuk memperkuat dakwah dan menyusun strategi yang lebih baik dalam menjaga identitas keagamaan mereka. Pancasila seharusnya menjadi landasan bagi umat Islam untuk berdakwah dengan cara yang inklusif dan menghargai keragaman, namun juga melindungi diri dari pengaruh luar yang dapat mengancam keberlangsungan identitas Islam di Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan Natsir dalam wasiatnya, kristenisasi pasca G30S/PKI bukan hanya persoalan agama, tetapi juga persoalan identitas dan kedaulatan bangsa. Umat Islam di Indonesia tidak bisa mengabaikan fenomena ini, karena ia berkaitan erat dengan masa depan dakwah dan peran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tantangan ini bukan hanya soal teologis, tetapi juga soal bagaimana umat Islam dapat merespons perubahan sosial yang cepat di tengah ketidakpastian politik dan ekonomi.
Pada akhirnya, momentum Hari Kesaktian Pancasila ini memberikan kita kesempatan untuk merenung lebih dalam tentang peran Pancasila dalam menjaga keharmonisan dan keragaman agama di Indonesia. Pancasila, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, harus tetap menjadi tameng bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat Islam, untuk melindungi identitas dan keberagamaan mereka di tengah tantangan globalisasi dan intervensi asing. Kekuatan ideologi negara ini tidak hanya terletak pada kata-kata yang tertulis, tetapi pada implementasinya dalam menjaga keadilan dan keseimbangan sosial di tengah berbagai perbedaan agama yang ada di Indonesia.
Referensi:
1. Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan Antar Generasi (Wawancara tokoh muda kepada Bapak Mohammad Natsir sekitar tahun 1986-1987)
2. Arif Wibowo, Susiyanto, Muhammad Isa Anshory, _Menjawab Sekularisasi, Kristenisasi, dan Nativisasi: Wasiat Dakwah Muhammad Natsir