Orientasi Pendidikan Gontor dan Perannya di Ranah Sosial
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy/ Alumni Gontor 2014 & UNIDA GONTOR 2018
Orientasi Pendidikan Gontor
Setiap lembaga pendidikan memiliki orientasi yang menjadi pedoman utama dalam menjalankan visi dan misinya. Di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), orientasi ini dirumuskan dalam empat prinsip utama yang menjadi fondasi dalam membentuk karakter santri. Keempat orientasi ini tidak hanya mengarahkan sistem pendidikan di Gontor, tetapi juga mempersiapkan santri agar mampu berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemasyarakatan. Gontor menanamkan nilai kemasyarakatan sebagai bagian dari totalitas kehidupan santri di lingkungan pesantren. Santri dibiasakan hidup dalam keberagaman dan dilatih untuk berkomunikasi aktif dengan sesama. Pola hidup ini membentuk mereka agar terbiasa menghadapi dinamika sosial dan tidak merasa canggung saat kembali ke masyarakat. Sebagai penjaga “Adab,” santri diharapkan dapat berperan sebagai guru mengaji, imam masjid, maupun pendidik di sekolah Islam dan umum. Pengalaman interaksi yang diperoleh selama di pesantren menjadi bekal penting bagi mereka dalam mengemban peran ini.
Hidup Sederhana. Kesederhanaan merupakan prinsip hidup yang diajarkan di Gontor. Namun, kesederhanaan di sini bukan berarti kemiskinan, melainkan hidup yang cukup, bersih, dan jujur. Kehidupan yang berlebihan tanpa rasa syukur justru bertentangan dengan nilai ini. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kyai Imam Zarkasyi dalam Seminar Pondok Modern se-Indonesia di Yogyakarta pada 4-7 Juli 1965: “Biasakanlah hidup sederhana, niscaya kita akan hidup bahagia, dan dapat menghadapi masa depan dengan kepala tegak, tidak ada rasa cemas atau takut.” Oleh karena itu, santri dididik agar tidak bergantung pada kemewahan, melainkan menanamkan kemandirian dan ketenangan dalam setiap aspek kehidupannya.
Tidak Berpartai. Gontor menegaskan bahwa pendidikannya tidak terikat dengan partai politik atau golongan tertentu. Dengan mengusung motto “Pondok berdiri di atas dan untuk semua golongan”, santri diajarkan untuk menjadi perekat umat, bukan pemecahnya. Sikap netral ini ditanamkan agar santri dapat menjaga ukhuwah Islamiyah dan menghindari fanatisme politik yang dapat menghambat persatuan umat Islam.
Mencari Ilmu Lillahi Ta’ala. Orientasi utama seorang santri dalam menempuh pendidikan di Gontor adalah tholabul ilmi—menuntut ilmu demi Allah. Pendidikan di pesantren ini bukan sekadar persiapan mencari pekerjaan, tetapi sebagai jalan untuk memperoleh keberkahan dan pengabdian kepada umat. Kyai Imam Zarkasyi menegaskan bahwa mereka yang datang ke pondok dengan niat tulus mencari ilmu akan diarahkan oleh Allah menuju jalan terbaik dalam kehidupannya.
Perannya di Ranah Sosial
Pondok Modern Darussalam Gontor tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai laboratorium kehidupan sosial. Di dalamnya, santri tidak hanya belajar dalam ruang kelas, tetapi juga mengalami berbagai interaksi sosial melalui komunitas asrama, organisasi, pramuka, kesenian, olahraga, hingga kepanitiaan. Setiap kegiatan yang dijalankan bukan sekadar aktivitas tambahan, melainkan bagian dari proses pendidikan yang membentuk karakter dan keterampilan sosial santri.
Kehidupan santri di Gontor tersusun dalam ritme yang padat dan sistematis, mulai dari agenda harian hingga program tahunan. Setelah satu agenda selesai, agenda berikutnya telah menanti, menciptakan siklus pembelajaran yang terus berkelanjutan. Pola pendidikan ini menanamkan kedisiplinan, keterampilan manajemen waktu, serta rasa tanggung jawab dalam mengelola berbagai aktivitas. Dengan demikian, santri tidak hanya terlatih untuk mandiri, tetapi juga memiliki kesadaran akan pentingnya peran individu dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Lebih dari sekadar membiasakan diri dalam kehidupan sosial, Gontor menanamkan pada santri bahwa pendidikan yang mereka terima harus diwujudkan dalam kontribusi nyata kepada masyarakat. Masyarakat bukan sekadar tempat mencari penghidupan, tetapi medan perjuangan untuk membawa perubahan. Sejalan dengan ajaran Kyai Imam Zarkasyi, santri memiliki tiga peran utama di tengah masyarakat: Mujahidin (pejuang di jalan Allah), Muballighin (penyebar dakwah Islam), dan Mu’allimin (pendidik). Ketiga peran ini bukan sekadar teori, tetapi pedoman nyata dalam menjalankan misi dakwah dan pengabdian kepada umat.
Konsep “menyerbu masyarakat” yang diperkenalkan oleh Kyai Imam Zarkasyi bukanlah sekadar slogan, melainkan sebuah amanat besar. Kata “menyerbu” dalam konteks ini menggambarkan pergerakan aktif dan progresif, di mana santri tidak hanya menjadi bagian dari masyarakat, tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan. Mereka diharapkan berada di garis depan dalam menegakkan nilai-nilai Islam (li i’laai kalimatillah), sekaligus berperan dalam meningkatkan kesejahteraan umat dan memajukan bangsa.
Menjadi santri bukanlah perjalanan yang mudah, melainkan proses panjang yang menuntut ketekunan, ketangguhan, dan keikhlasan. Ilmu yang diperoleh di pesantren tidak boleh berhenti sebagai bekal pribadi semata, tetapi sampai pada pengamalan demi kemaslahatan umat. Setiap langkah kecil yang diambil para santri merupakan bagian dari perjuangan besar dalam membangun kehidupan dan mendidik kehidupan lebih baik.
Referensi:
- KH. Imam Zarkasyi, Diktat Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy PM. Darussalam Gontor
- KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Bekal Pemimpin
- KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren
- Ahmad Suharto, Melacak Akar Filosofis Pendidikan Gontor: Syajarah Thoyyibah Gontor
- Ahmad Suharto, Ayat-Ayat Perjuangan