Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd/ Mudir Pesantren At-Tin UMP
Kepribadian Guru Muhammadiyah: Aqidah dan Akhlaq Sebagai Pondasi
Pandangan kehidupan adalah hal yang sangat penting untuk menentukan jalan kehidupan. Tidak hanya menentukan, namun pandangan kehidupan akan memberi kesadaran yang menjalaninya dengan penuh hikmah. Pandangan bagaimanakah yang sekiranya patut dan layak untuk dijadikan penuntun kehidupan?, mari sejenak menelaah uraian ini.
Dalam Islam, kita mengenal konsep aqidah, syariat dan akhlaq ketiga elemen ini adalah sebuah kesepaduan tak terpisahkan, semuanya saling tertaut dan menautkan. Jika menginsyafi tiga dasar ini, sesungguhnya Islam sedang menawarkan sebuah konsepsi kehidupan holistik kepada seluruh manusia.
Dalam sisi aqidah, aqidah mempunyai makna “ikatan”, ikatan yang sangat kuat, ikatan yang secara fitrah mengikat setiap manusia. Ikatan apa? Yaitu ikatan manusia dengan Tuhannya. Karena setiap manusia secara absolut pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb. Menelaah lebih dalam mengenai aqidah, hal ini menyasar bagian sangat mendalam yaitu hati (qalb) dan perasaan jiwa (nafs) yang sangat kuat yaitu keyakinan (yaqin). Untuk menegakkan aqidah dalam hati (qalb) dan menguatkan keyakinan dalam jiwa (nafs) cukup sederhana, yaitu mengakui secara jujur dalam hati yang tulus bahwa kita manusia terlahir secara fitrah (suci/bersih). Fitrah yang seperti apa?, yaitu kebersihan ruh dan jasad karena kita pernah mengakui pengakuan agung bahwa Allah sebagai Rabb (Q.S. al-‘Araf: 172) kejadian ini disebut dengan mitsaq.
Setelah bersaksi Allah sebagai rabb, maka ketika manusia terlahir di dunia kemudian beranjak ‘aqil baligh persaksian selanjutnya adalah bersaksi bahwa Allah sebagai ilah (sesembahan) dan tiada yang patut disembah kecuali Dia (Allah) serta mendeklarasikan diri bahwa Nabi Muhammad utusan Allah dengan bersyahadat dan ini sekaligus sebagai identitas diri pembeda antara Muslim dengan manusia umum lainnya. Syahadat diartikan sebagai persaksian, persaksian yang bagaimana?, apakah bersaksi dengan mata (‘ayn) secara lahir?, tentunya bukan, melainkan mata batin (‘aynul yaqin). Mata batin inilah yang menjadi pandangan utama dalam kehidupan seorang muslim untuk menempuh jalan keselamatan dunia dan akhirat.
Dengan memenuhi syahadat yang diuraikan di atas, maka idealnya Dalam Islam, para Ulama bahkan mengartikan Syahadat sebagai suatu amalan hati dan tubuh, jiwa dan raga, yang tanpa keduanya maka syahadatnya tidak sah. Maka mengucapkan syahadat tidak bisa main main harus dengan penuh kesadaran, ketulusan, keikhlasan, dan dengan pemahaman serta pengetahuan yang benar. Sebab, sekali mengatakan Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah maka ia terikat dengan rukun rukun setelahnya, yaitu shalat, puasa, zakat, haji dan ini semuanya adalah syariat yang paling utama bagi seorang muslim.
Mengikat uraian di atas, selayaknya sebagai seorang guru di lingkungan Muhammadiyah idealnya mampu menanamkan value Aqidah dan Akhlak dalam totalitas aktifitasnya, terkhusus dalam menganjar sebagai peran sentralnya. Aqidah dijadikan sebagai pedoman keyakinan bahkan sampai pada cita-cita hidup seorang guru Muhammadiyah yaitu dengan perpegang teguh kepada tauhid, aqidah yang lurus. Semua yang dikerjakannya di dunia ini adalah ibadah.
Beribadah adalah syarat utama dalam penjagaan fitrah diri atau pembersihan jiwa (Tazkiyatun Nafs). Di dalam menjalankan Ibadah dibutuhkan jiwa kepasrahan atas diin al Islam bisa berdiri dengan kokoh di dalam setiap jiwa manusia seperti dalam firman Allah “wa maa umiru illa liya’buduna mukhlisina lahuddin hunafaa an yuqimus sholata wa yu’tuz zakata, dzalika diinul qoyyimah (al-Bayiinah: 5) tidaklah Aku perintahkan kecuali untuk beribadah dengan ikhlas bagi mereka yang mempunyai Islam (diin) yang lurus merekalah yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dengan itulah Islam (diin) akan berdiri. Dan dipertegas dengan kalamullah “Laa Ikraha fid diin… (al-Baqarah: 256)” tidak ada paksaan sama sekali dalam Islam (diin) dalam artian, syarat utama menjalankan Islam adalah tanpa keterpaksaan jadi Islam (diin) hanya bisa berdiri kokoh. Seluruh perjalanan kehidupan ini, jika dipenuhi dengan pengakuan diri serta kesadaran atas persaksian kepada-Nya (syahadat) dan menjalani sesuai tuntunan (syariat) Allah, Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan Ulama muktabar maka semuanya adalah Ibadah.
Maqashid Syari’ah: Syariat dan Tujuannya
Sebagai panduan dalam beribadah, Allah telah menyiapkan jalan untuk beribadah yaitu dengan syariat yang apabila diuraikan secara mendalam kemanfaatan serta tujuan di dalamnya mencakup hajat manusia secara personal sekaligus melancarkan hajat manusia secara sosial. Terikat di dalamnya ikatan dengan Allah sekaligus ikatan dengan manusia (hablum minallah wa hablum minannas).
Menguraikan berkaitan syariat, jika menelaah arti dari syariat dapat diterjemahkan dengan kata “jalan”. Jalan sini adalah setelah kita dihidangkan oleh Islam dengan konsep aqidah, maka selanjutnya Islam menawarkan sebuah jalan tuntunan yang adil (‘adl), seimbang serta proporsional dalam menjalani kehidupan yaitu dengan syariat. Mengapa penulis mengatakan adil dan proporsional?, karena memang pada kenyataannya syariat yang ditawarkan Islam kepada manusia selalu seimbang dalam masalah urusan dunia (muamalah duniawiyah) dan urusan akhirat (ukhrowi yah) terjalin menjadi dua hubungan erat hubungan dengan manusia (hablum minannas) dan Allah (hablum minallah) kedua hubungan ini pun saling terikat dan mengikat.
Lebih dalam mengenai syariat, untuk menegaskan ini para ‘Ulama merumus kan lima rumusan, tujuan dari syariat Islam (maqasid syariah). Pertama, syariat untuk menjaga agama (Islam) dalam bahasa arab dapat disebut hifdzud diin, menjaga agama dengan menanamkan rasa iman dan ihsan dalam diri, ini disyariatkan dengan kewajiban bersyahadat dan mendirikan sholat, karena sholat adalah tiang utama Agama dan dilanjutkan berpuasa, berzakat dan berhaji inilah lima syariat yang wajib dilaksanakan beserta turunannya di setiap amalan tersebut.
Kedua, syariat mempunyai fungsi untuk jiwa manusia, tuntunan yang ditetapkan dalam syariat yaitu untuk menjaga diri setiap manusia agar tetap istiqomah (konsisten) dalam kebaikan di ranah lahir maupun batin, salah satu contoh dalam dimensi lahir adalah memakan makanan yang halal dan baik (thayyib) serta merawat diri dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, dalam dimensi batin mujahadah melawan dorongan nafsu amarah bi suu’i atau jihad melawan hawa nafsu bentuk nyata agar jiwa selalu terjaga syariat melarang perbuatan dosa-dosa jiwa seperti menggunjing, memfitnah, berbohong-membohongi, menebar aib dan lain sebagainya, disebutkan dalam bahasa lain hifdzun nafs.
Ketiga, syariat pun mempunyai andil dalam menjaga akal manusia, agar akal manusia itu sehat serta jernih pikirannya. Sebagai contoh, yaitu mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menuntut Ilmu agar menjaga akalnya dari kebodohan (al-jahl) dan menuntut dirinya menjadi seorang yang adil dan baik. Ini disebut dengan hifzul ‘aql. Terdapat hal lebih penting, dalam surat Muhammad; 19 Allah berfirmah “fa’lam annahu laa ilaha illa Allah…” (Maka berilmulah!, bahwa tiada yang patut disembah kecuali Allah, ini juga sebagai dalil pentingnya Ilmu agar terhindar dari kejahilan. Ditegaskan dengan sabda Nabi Muhammad, “tholabul ilmi faridhotun ala kulli muslimin wa muslimat”, menuntut ilmu itu wajib untuk setiap muslim dan muslimah. Sabda ini juga sebagai penegasan urgensi ilmu dalam syariat untuk menjaga akal manusia.
Keempat, syariat bertujuan untuk menjaga keturunan agar eksistensi manusia teratur dan terarah serta tidak menimbulkan kekacauan maka syariat mengambil andil di dalamnya salah satunya dengan menentukan hukum pernikahan (an-nikah), ini diungkapkan dengan hifdzun nasl. Syariat Islam ditetapkan Allah bertujuan untuk menjaga keteraturan hidup. Lebih khusus mengenai keturunan, Islam sangat menjaga dimensi kemanusiaan konsep nikah jika ditilik dalam sisi kemanusiaan sebenarnya adalah bentuk penjagaan manusia dengan keturunannya agar jelas nasab keluarga, jelas pola asuhnya serta jelas arah hidupnya.
Dan yang kelima, syariat ditetapkan bertujuan untuk menjaga harta agar terjaga dan terbagi rata sesuai haknya, maka syariat menerapkan hukum zakat, infaq dan shodaqoh, Ini diungkapkan dengan hifdzul maal. Penjagaan harta dalam Islam mempunyai semangat ta’awun (saling tolong-menolong) karena di setiap harta umat Islam terdapat harta bagi delapan ashnaf bagi muslim mukallaf yang sudah mencapai nisab zakat. Terdapat pula infaq, shadaqah serta wakaf yang dimana konsep-konsep dalam syariat ini membawa kepada kesejahteraan manusia secara universal dan merata anti ketimpangan.
Uraian lima ini jika diresapi dengan jernih, akan mengungkapkan kesepaduan Islam dalam sisi agama dan kemanusiaan, yang mana fungsi Islam bukan sekadar amalan privat namun menyentuh ranah keberlangsungan hidup manusia secara kolektif. Karena Syariat sejalan dengan nilai Kemanusiaan serta bertujuan menjunjung tinggi nilai Ilahiyah sekaligus Insaniyah.
Guru di Era 5.0 Society
Dalam era Society 5.0, satuan pendidikan memiliki tantangan besar untuk menjadi pintu gerbang utama dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul. Society 5.0 diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang pada tahun 2019 sebagai respons terhadap disrupsi yang kompleks dan ambigu akibat Revolusi Industri 4.0. Gejolak ini mengancam nilai-nilai kemanusiaan yang telah lama dijunjung tinggi. Dalam menghadapi era ini, dunia pendidikan memiliki peran sentral dalam meningkatkan kualitas SDM. Selain pendidikan, elemen-elemen lain seperti pemerintah, organisasi masyarakat, dan seluruh masyarakat juga berperan dalam menyambut era Society 5.0.
Dalam menghadapi era Society 5.0, pendidikan harus mengalami perubahan paradigma. Guru tidak hanya menjadi penyedia materi pembelajaran, tetapi juga harus menjadi sumber inspirasi bagi kreativitas peserta didik.
Adaptasi dan pengembangan kompetensi juga menjadi kunci dalam menghadapi Society 5.0. Pemahaman tentang perkembangan generasi, seperti generasi X hingga generasi ⍺, sangat penting. Dalam dunia pendidikan, diperlukan kemampuan abad ke-21, yang dikenal sebagai 4C (Kreativitas, Berpikir Kritis, Komunikasi, Kolaborasi), baik dari guru maupun siswa.
Siswa juga harus memiliki enam literasi dasar, termasuk literasi data, teknologi, dan manusia, serta kemampuan berpikir kritis, berpikir logis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan menyelesaikan masalah. Selain itu, karakter seperti rasa ingin tahu, inisiatif, kegigihan, kemampuan beradaptasi, jiwa kepemimpinan, kepedulian sosial, dan budaya juga perlu ditanamkan.
Untuk menghasilkan SDM unggul di era Society 5.0, penguatan nilai-nilai Pancasila terhadap peserta didik melalui berbagai kegiatan seperti intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, dan lingkungan sekolah sangat penting. Pendidik harus memiliki kemampuan digital dan berpikir kreatif serta memanfaatkan teknologi seperti Internet of Things, realitas virtual/augmented, dan kecerdasan buatan AI dalam proses pembelajaran.
Peran Guru sebagai penggerak yang inovatif dan dinamis dalam mengajar harus ditingkatkan. Guru perlu memanfaatkan teknologi seperti Internet of Things, realitas virtual/augmented, dan kecerdasan buatan untuk mendukung pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, guru harus memiliki keterampilan hidup abad ke-21 seperti kepemimpinan, literasi digital, komunikasi, kecerdasan emosional, kewirausahaan, kewarganegaraan global, kerja tim, dan pemecahan masalah.
Meskipun teknologi dapat berperan penting dalam pendidikan, peran guru dalam interaksi langsung dengan siswa, pembentukan ikatan emosional, penanaman karakter, dan menjadi teladan tetap tidak dapat tergantikan. Dalam era Society 5.0, pendidikan harus menggabungkan teknologi dengan kebijaksanaan manusia untuk menciptakan SDM unggul yang mampu menghadapi tantangan zaman ini.
Literasi 5.0 Society Berbasis Maqashid Syari’ah
Islam adalah agama yang dapat menyesuaikan dengan setiap umat dan zaman. Sistem dalam Islam ada yang bersifat tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat (berubah). Begitupun dalam dunia pendidikan Islam, haruslah menyesuaikan sifat Islam itu sendiri. Sangat banyak gagasan yang berkaitan dengan pendidikan Islam yang bersifat sangat adaptif dengan zaman. Penting untuk diingat bahwa lima Maqasid al-Shariah ini saling terkait dan saling mendukung satu sama lain dalam menciptakan masyarakat yang adil, seimbang, dan bermoral dalam kerangka Islam. Dalam praktiknya, maqasid ini membantu dalam menafsirkan hukum-hukum Islam dan memberikan panduan tentang bagaimana berperilaku dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Masyarakat literasi 5.0 adalah sebuah konsep yang mencerminkan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi yang erat kaitannya dengan era informasi yang tengah kita alami saat ini. Dalam lingkungan sosial yang semakin terkoneksi ini, peran guru memegang peranan yang sangat penting, terutama ketika literasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah menjadi pondasi utama bagi Guru Muhammadiyah. Dalam tulisan ini, kami akan membahas peran penting guru dalam mengembangkan literasi 5.0 yang berakar pada prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah.
Salah satu peran utama guru adalah dalam bidang pendidikan moral dan etika. Guru Muhammadiyah adalah agen utama yang bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda tentang nilai-nilai moral dan etika yang harus diterapkan dalam literasi 5.0 yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah. Mereka harus mampu memberikan pengajaran yang mengedepankan pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi secara bijak, menghormati privasi individu, dan memahami etika dalam berbagi informasi.
Selanjutnya, dalam konteks masyarakat literasi 5.0, akses terhadap informasi keuangan memiliki peran yang krusial. Guru Muhammadiyah harus berperan dalam mengajarkan prinsip-prinsip keuangan Islam kepada siswa mereka. Hal ini mencakup konsep seperti zakat, infaq, dan investasi yang sesuai dengan Maqashid Syari’ah, yang merupakan bagian integral dari literasi 5.0 yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam.
Dalam upaya mencapai literasi 5.0 yang berakar pada Maqashid Syari’ah, guru juga memiliki tanggung jawab untuk memperkuat literasi Al-Quran di kalangan siswa. Mereka harus mampu mengajarkan makna dan aplikasi ayat-ayat Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari agar masyarakat dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah ke dalam setiap aspek aktivitas mereka.
Selain itu, guru juga diharapkan untuk berperan dalam mengembangkan pemahaman siswa tentang konsep kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah. Ini mencakup pengajaran mengenai keadilan, kesejahteraan sosial, dan tanggung jawab moral dalam konteks kepemimpinan.
Seiring dengan itu, guru memiliki peran untuk mendorong pemberdayaan masyarakat dalam masyarakat literasi 5.0. Mereka perlu memotivasi siswa agar aktif berpartisipasi dalam proyek-proyek sosial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam upaya mencapai inklusivitas dalam literasi 5.0 berbasis Maqashid Syari’ah, guru Muhammadiyah harus memastikan bahwa pendidikan yang mereka berikan merangkul berbagai lapisan masyarakat. Ini berarti bahwa semua individu, termasuk mereka yang kurang beruntung, harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses literasi 5.0 yang didasarkan pada prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah.
Selanjutnya, guru juga berperan dalam mendukung pendidikan keluarga yang sesuai dengan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah. Mereka dapat memberikan panduan kepada orangtua dalam mendidik anak-anak mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga maqashid syaria’ah dapat meresap ke ranah literasi 5.0 Society.
Namun tidak kalah penting, guru Muhammadiyah harus berperan dalam pembentukan kemampuan pemikiran kritis siswa. Di era literasi 5.0 yang dipenuhi dengan informasi, guru harus mengembangkan keterampilan siswa dalam menganalisis, menyaring, dan menilai informasi dengan bijak sesuai dengan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah.
Dalam masyarakat literasi 5.0 yang berlandaskan pada Maqashid Syari’ah, peran guru memiliki peranan sentral dalam membentuk individu yang kompeten, beretika, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Guru Muhammadiyah idealnya menjadi teladan dalam menerapkan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah dalam kehidupan sehari-hari mereka dan membantu siswa untuk mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam era yang semakin terkoneksi ini. Dengan demikian, guru memegang peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, berdaya, dan didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan moral Islam.
Internaliasai Nilai-Nilai Maqshid Syari’ah ke dalam Literasi 5.0 Society: Upaya Kerja Kolektif
Internalisasi nilai-nilai Maqashid Syari’ah di dalam masyarakat Literasi 5.0 menjadi sebuah tantangan yang tak terelakkan. Era ini, yang ditandai oleh integrasi teknologi canggih ke dalam kehidupan sehari-hari, menuntut upaya bersama untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan prinsip-prinsip moral, sosial, dan agama. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa langkah konkret dapat diambil:
Pertama, pendidikan agama harus menjadi inti dalam kurikulum pendidikan di semua tingkatan. Pendidikan ini akan membantu masyarakat memahami esensi nilai-nilai Maqashid Syari’ah seperti kemanusiaan, keadilan, dan moralitas yang harus dipertahankan dalam era teknologi yang semakin maju.
Selanjutnya, pemerintah dan lembaga terkait perlu mengusahakan kebijakan publik yang mendukung penggunaan teknologi yang sejalan dengan prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah. Hal ini bisa mencakup pengaturan konten internet yang tidak sesuai dengan prinsip maqashid syari’ah.
Pemberdayaan masyarakat adalah aspek penting lainnya. Masyarakat harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi secara bijaksana. Mereka harus memahami implikasi etis dari tindakan online dan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mencapai tujuan sesuai dengan Maqashid Syari’ah.
Peran pemimpin agama, seperti ulama dan pemimpin spiritual, sangat krusial. Mereka harus memberikan panduan yang relevan terkait dengan penggunaan teknologi modern. Dengan demikian, mereka dapat membantu umat dalam menjalani kehidupan digital yang sesuai dengan nilai-nilai agama.
Pengembang teknologi juga memiliki peran besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Maqashid Syari’ah. Mereka harus merancang produk dan layanan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat serta memastikan bahwa teknologi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip agama.
Kontrol diri dan kesadaran diri dalam penggunaan teknologi adalah hal penting. Individu harus mampu membatasi konsumsi konten yang merugikan dan menjaga etika dalam interaksi online. Kesadaran diri tentang dampak teknologi terhadap kehidupan pribadi dan sosial juga harus ditingkatkan.
Orang tua juga memiliki peran yang tak tergantikan dalam mengawasi anak-anak mereka dalam menggunakan teknologi. Mereka harus memberikan bimbingan dan pengawasan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai Maqashid Syari’ah.
Penting untuk diingat bahwa teknologi itu sendiri tidak memiliki moralitas. Oleh karena itu, kesadaran dan internalisasi nilai-nilai Maqashid Syari’ah oleh masyarakat menjadi landasan yang sangat penting dalam menghadapi era Literasi 5.0 yang semakin kompleks dan canggih. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita menginternalkan maqashid syari’ah ke dalam seluruh lini terkhusus dalam era 5.0 society yang syarat dengan era digitalisasi. Sekian.