Oleh: Intan Nurul Aini/Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Ahmad Dahlan Kab. Tegal Tahun 2023
Peradaban Islam adalah peradaban besar yang berlangsung selama beberapa abad. Dalam kurun waktu tersebut peradaban Islam dapat menyebarkan agama dan ilmu pengetahuannya, para ahli sejarah membagi peradaban Islam menjadi 6 periode yaitu masa Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rasyiddin, masa Daulah Umayyah, masa Daulah Abassiyah[1], masa kerajaan-kerajaan Islam, dan masa Turki Utsmani. Selama rentang waktu tersebut, muncullah berbagai disiplin ilmu pengetahuan disamping penyebaran agama dan perkembangan arsitektur yang megah. Tak dapat dipungkiri lagi jika peradaban Islam banyak memberikan sumbangsihnya kepada perkembangan ilmu pengetahuan, contohnya dalam ilmu matematika, kimia, kedokteran, dan lain sebagainya. Segala bentuk perkembangan itu adalah hasil dari para ulama yang mempelajari Al-Quran dan Hadits Rasulullah.
Semua pemaparan diatas berkaitan langsung dengan konsep awal peradaban Islam yang dibangun di Madinah. Dalam literasi bahasa Arab kata peradaban dapat dimaknai dengan kata “Tamaddun” meskipun banyak padanan kata lainnya seperti “Tsaqafah” atau “Umran” dan lain sebagainya namun kata “Tamaddun” adalah kata yang paling tepat untuk menyebutkan peradaban Islam. “Tamaddun“ sendiri diambil dari kata “Din” yang berarti agama. Jika ditelusuri lebih dalam lagi,kata “ Din” diambil dari kata kerja “Dayana” yang artinya memberi hutang atau “Dana” yang berarti hutang. Dalam konteks ini, Allah swt disebut sebagai “al-Dayyan“yang artinya pemberi hutang dan Rasulullah SAW disebut sebagai “Dayyan” yang berarti pengatur hutang atau menghutangkan diri. Dari dua kata tersebut Rasulullah kemudian mengganti nama kota Yatsrib menjadi kota Madinah yang memiliki arti tempat yang dibangun diatas agama. Kota Madinah termasuk ke dalam periode awal peradaban Islam[2].
Menurut para ahli sejarah, periodisasi awal peradaban Islam dibagi menjadi 3 periode yaitu periode mekkah, periode Madinah dan periode tradisi intelektual. Dalam periode Mekkah sendiri dibagi menjadi 2 periode yaitu Mekkah awal dan Mekkah akhir. Penggolongan ini didasarkan ayat yang turun pada periode tersebut. Pada periode Mekkah awal, ayat-ayat yang turun berisi tentang konsep Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan alam semesta, dan akhirat. Yang intinya adalah penanaman aqidah yang akan menjadi landasan worldview Islam. Kemudian pada periode akhir mekkah, ayat yang turun berisi nubuwah, konsep ilm, Din, ibadah dan lain sebagainya. Kedua periode ini penting untuk membentuk struktur worldview Islam. Pada periodisasi Madinah, ayat yang diturunkan bersifat lebih umum seperti hukum muamalah, hukum jihad, pernikahan, waris, dan sebagainya. Tema-tema umum ini adalah bentuk dari penyempurnaan ritual peribadatan[3] yang meskipun berbeda tema pembahasan pada 2 periode tersebut, namun masih tetap berkesinambungan karena hakikatnya periode Madinah adalah implementasi dari periode mekkah. Setelah hijrah, Rasulullah acap kali membahas tentang ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah. Dengan demikian, struktur worldview Islam menjadi semakin kokoh, itu semua merupakan hasil dari implementasi pada periode mekkah.
Sebelum Rasulullah datang ke Madinah bersama dengan Abu Bakar, Yastrib (Madinah) memiliki kondisi sosial yang hampir sama dengan kota Mekkah. Jika penduduk Kota mekkah hamper seluruh penduduknya menganut kepercayaan paganism, maka di Yastrib (Madinah) kala itu terdapat 3 kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya yaitu yahudi sebagai kepercayaan yang paling banyak dianut, nasrani yang seluruh pengikutnya berasal dari Bani Najran dan menjadi minoritas, dan paganisme seperti yang dipercaya oleh kaum Quraisy dan penduduk kota mekkah[4]. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Yastrib kala itu mirip dengan keadaan di mekkah, mereka saling bertikai satu sama lainnya.
Terdapat 3 kelompok besar yakni suku Auz dan Khazraj, kaum Yahudi, dan kaum musyrikin. Setelah Rasulullah datang ke yatsrib, beliau mulai membangun peradaban baru disana dan mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah yang akar katanya berasal dari kata “Din” yang berarti agama yang secara harfiah berarti kota yang dibangun diatas agama. Langkah selanjutnya yaitu membangun masjid, kala itu, masjid menjadi tempat sentral dan vital bagi perkembangan peradaban. Masjid yang dibangun oleh Rasulullah itu kini disebut dengan masjid Nabawi dengan luas awal hanya sekitar 50 m2. Fungsi masjid saat itu tidak sebatas hanya sebagai tempat ibadah saja, namun sebagai tempat kaum muslim untuk menerima pengajaran Islam, sebagai balai pertemuan umat Islam, tempat mengatur segala urusan pemerintahan dan tempat tinggal sementara untuk kaum muhajirin yang belum memiliki tempat tinggal. Saat itu, posisi masjid sangatlah sentral dan menjadi prioritas pembangunan oleh Rasulull
Setelah masjid selesai dibangun, Rasulullah kemudian mempersatukan suku Auz dan suku Khazraj. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, kedua suku ini selalu bertikai sehingga setelah kedatangan Rasulullah mereka disatukan dan disebut sebagai kaum Anshar yang artinya penolong. Kemudian Rasulullah pun mempersaudarakan kaum Muhajirin (penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah) dengan kaum Anshar. Rasulullah mewajibkan agar setiap satu orang dari kaum Muhajirin bersaudara dengan satu orang dari kaum Anshar dengan niat ikhlas karena Allah SWT begitu pula sebaliknya[5]. Selain bertujuan untuk menopang ekonomi kaum Muhajirin yang belum stabil saat itu, Rasulullah juga bertujuan untuk mempersatukan umat muslim dan mempererat ukhuwah Islamiyah demi menguatkan pertahanan kaum muslimin. Contoh sahabat yang dipersaudarakan dengan kaum Anshar adalah Abu Bakar dengan Kharijah bin Zubair, Umar bin Khattab dengan Itban bin Malik Al-Khazraji, Utsman bin Affan dengan Auz bin Tsabit dan seterusnya. Meskipun secara ekonomi kaum muhajirin telah ditopang oleh kaum anshar, dan kaum muhajirin tidak diam saja. Diantara mereka ada yang menjadi pedagang seperti Abdurrahman bin Auf dan petani kurma seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah memperkuat posisi kaum muslimin di Madinah dengan membangun masjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, Rasulullah kemudian membuat perjanjian. Yang dimaksud dengan perjanjian disini adalah piagam Madinah (Mitsaq al–Madinah)[6]. Piagam tersebut adalah perjanjian formal antara Rasulullah dengan semua suku dan kaum-kaum penting di Madinah pada tahun 622 M. Dengan penandatanganan piagam Madinah ini, Rasulullah SAW memperkokoh posisinya dan kaum muslimin dengan menghadirkan perdamaian dan peradaban baru yang lebih baik, yang diterima oleh penduduk Madinah seluruhnya tak terkecuali orang non-muslim.
Setelahnya Rasulullah SAW membangun peradaban lewat tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan Islam berkembang secara bertahap. Embrio awal dari komunitas ilmuwan Islam berasal dari Bait al-‘Arqam. Namun dalam perkembangannya, ada medium yang lebih efektif yaitu al–Suffah, komunitasnya dikenal dengan Ashab al-Suffah. Inilah lembaga pendidikan Islam pertama yang mengkaji kandungan wahyu dan Hadits dari Rasulullah SAW. Lembaga ini menghasilkan ulama yang berperan dalam melahirkan disiplin ilmu-ilmu keIslaman seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Abdullah bin Mas’ud dan lain sebagainya. Kegiatan diatas didorong secara alami oleh worldview Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Hadits Rasulullah SAW. Dari kedua sumber- sumber tersebut terdapat konsep-konsep asas (seminal concept) yang sempurna. Konsep-konsep seperti ‘ilm, ‘adl, din, insan dan lain sebagainya tidak dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah sendiri, namun diterjemahkan oleh ilmuwan sesudah Rasulullah SAW baik dari sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, maupun ulama setelahnya[7].
Setelah tradisi Intelektual Islam berhasil dibangun, Rasulullah SAW kemudian membangun siasat politik. Salah satu hal yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membangun kekuatan politik adalah dengan mengadakan perjanjian damai dengan kaum yahudi[8]. Rasulullah SAW mengirimkan surat perjanjian damai yang salah satu isinya adalah hendaknya kaum yahudi dan kaum muslimin tidak saling mendengki, hidup rukun dan bersama-sama saling membantu apabila ada serangan dari luar serta saling menghormati agama dan keyakinan masing-masing dan merdeka dalam menjalankan syariat agamanya masing-masing. Ini adalah surat perjanjian yang memperlihatkan kebijaksanaan dan kecerdasan Rasulullah SAW. Beliau membuat perjanjian damai ini untuk kepentingan antara kaum muslimin dan kaum yahudi di kota Madinah dan sekelilingnya. Perjanjian tersebut mengakui adanya hak kemerdekaan beragama dan hak kehormatan jiwa yang menciptakan keadaan kondusif kepada penduduk Madinah khususnya kaum muslimin. Menurut Dr. Husain Haikal, karena perjanjian tersebut kota Madinah menjadi sebuah kota yang terhormat, bersama-sama memikul tanggung jawab keamanan, saling tolong menolong serta saling menghormati, terutama dalam memelihara hak masing-masing.
Peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW adalah peradaban yang sempurna karena didalamnya tidak hanya memuat tentang ekspansi wilayah tetapi tentang ‘memanusiakan’ manusia. Lewat pendidikan agama dan pemerintahannya Rasulullah SAW dapat mengubah tatanan sosial di jazirah Arab selama 23 tahun lamanya. Merupakan sebuah pencapaian yang fantastis mengingat moral orang-orang pada zaman itu yang begitu buruknya. Ini semua disebabkan oleh landasan peradaban yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Sebagai sebuah contoh kecil adalh Daulah Umayyah yang fokus pada bidang perluasan wilayah dan ilmu pengetahuan menghasilkan ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya contohnya adalah sibawaih (w. 793) yang menulis tata bahasa Arab sistematis berjudul al-Kitab dan masih banyak lagi ulama-ulama yang lahir di masa ini[9].
Peradaban Islam meluas hingga benua Eropa saat itu hingga kini dan kebanyakan daerah yang diduduki Islam itu tanpa pengaruh pedang (perang). Islam masuk ke dalam negeri-negeri dengan damai dan diterima oleh penduduknya. Seperti yang dikatakan oleh Biscop of Lagos, seorang kepala agama katolik, telah menerangkan dalam surat edarannya yang bernama “East and West”, antara lain “ialah hanya dengan pengajaran Islam (Al-Qur’an), yang dapat memasuki hati sekalian manusia yang suci jadi dapat diketahui bahwa tersiarnya agama Islam itu tidak sekali-kali lantaran tajamnya pedang, tetapi semata-mata lantaran kenyataan (kebenaran) Al-Qur’an.” Begitu juga yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Edonard Monter, ia berkata “barangsiapa yang berkata bahwa agama Islam itu tidak mengandung peradaban yang tinggi dan elok, maka ia adalah seorang yang dungu”[10]. Pernyataan yang disampaikan diatas adalah bukti bahwa Islam membawa kedamaian, sehingga seluruh daerah yang dimasuki oleh Islam menjadi Negara makmur dan damai.
Dengan demikian, terbukti sudah bahwa peradaban Islam memang dibangun dan dilandasi oleh agama dan sesuai dengan kata Tamaddun yang menjadi konsep peradaban Islam. Perkembangan peradaban Islam yang gemilang berhasil menciptakan tatanan sosial baru yang berdasarkan keagamaan. Kekuatan konsep Islam dapat dengan mudah menggantikan pandangan hidup masyarakat, Islam diterima oleh bangsa-bangsa non-Arab karena Islam berangkat dari din yang rasional dan berkembang menjadi tamaddun. Peradaban Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan tidak hanya meluas dalam segi wilayahnya saja namun keilmuan, politik, dan keagamaan berkembang menjadi satu[11].
Muhammad Abduh menyatakan bahwa agama atau keyakinan merupakan asas dari segala peradaban. Begitu pula yang dikatakan Sayyid Qutb, bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Hal ini dapat kita lihat dari bangsa-bangsa kuno seperti Yunani, Mesir, India, Mesopotamia dan lain sebagainya. Maka yang harus dipahami adalah Islam adalah agama dan peradaban, sebab al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam tidak hanya mengajarkan doktrin teologis dan ritual keagamaan saja, tapi juga memproyeksikan suatu pandangan hidup rasional yang kaya dengan berbagai konsep seminal (khususnya tentang ilmu pengetahuan) yang menjadi asas kehidupan baik individu maupun sosial sehingga berkembang menjadi suatu peradaban[12].[]
Endnote:
[1]Gramedia Blog: ”Fase Lengkap Dan Umum Periodisasi Perkembangan Peradaban Islam”, https://www.gramedia.com/literasi/fase–lengkap–dan–umum–periodisasi–perkembangan–peradaban–islam/ diakses tanggal 5 februari 2023.
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”,Tsaqafah Jurnal Peradaban, vol.11,no.1,mei 2015,7.
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Islam”, Tsaqafah Jurnal Peradaban, vol.11, no.1, Mei 2015, 11.
[4] IAIN Nur Lampung: “Kepercayaan Masyarakat Madinah Sebelum Islam”, https://an–nur.ac.id/kepercayaan–masyarakat–madinah–sebelum–islam diakses tanggal 7 Februari 2023
[5] Moenawar Chalil, kelengkapan tarikh nabi Muhammad SAW jilid I, (Depok: Gema Insani, cet.XIII,2020) hlm 470
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Islam,” Tsaqafah Jurnal Peradaban, vol.11, no.1, mei 2015, 7.
[7] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”,Tsaqafah Jurnal Peradaban, vol.11,no.1,mei 2015,15.
[8] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid I, (Depok: Gema Insani, cet. XIII,2020) hlm 475
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”, Tsaqafah Jurnal Peradaban , vol.11, no.1, mei 2015,17.
[10] Moenawar Chalil, kelengkapan tarikh nabi Muhammad SAW jilid III, (Depok: Gema Insani, cet.XIII,2020) hlm 567-568
[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”, Tsaqafah Jurnal Peradaban , vol.11, no.1, Mei 2015,25.
[12] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tamaddun Sebagai Konsep Peradaban Islam”, Tsaqafah Jurnal Peradaban , vol.11, no.1, Mei 2015,8.