Kuliah Subuh:
Puasa sebagai Wasilah Tazkiyatun Nafs
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk kembali menikmati bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat, dan maghfirah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga, sahabat, dan segenap kaum muslimin yang istiqamah di jalan-Nya.
Hadirin rahimakumullah,
Puasa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia merupakan sarana (wasilah) untuk tazkiyatun nafs, penyucian jiwa. Di antara hikmah terbesar dari puasa adalah mendidik nafsu ammârah, meluruskan akhlak, dan menjauhkan diri dari perkara yang sia-sia serta perbuatan yang tidak jelas manfaatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama dari puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa. Takwa tidak hanya sebatas ketaatan lahiriah, tetapi juga melibatkan penyucian hati dari berbagai penyakit seperti kesombongan, kelalaian, dan ketamakan.
Manusia sering kali lupa akan hakikat dirinya. Nafsu cenderung menutup mata terhadap kelemahan, kefakiran, dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Ia enggan merenungkan betapa rapuh dan fana keberadaannya. Ia seakan menganggap dirinya kuat, tidak terkalahkan, bahkan merasa seolah-olah dirinya akan kekal di dunia ini. Hal inilah yang menyebabkan manusia berambisi terhadap dunia, terjerumus dalam ketamakan, serta terikat dengan kecintaan buta terhadap kenikmatan duniawi.
Manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta, mengejar jabatan, dan memperkuat cengkeraman terhadap segala yang dianggap bernilai bagi kehidupannya. Akibatnya, ia lupa kepada Allah, Rabb yang telah menciptakannya dan mencurahkan rahmat-Nya. Ia pun lupa bahwa ada kehidupan akhirat yang menanti, tempat segala amal diperhitungkan, dan keabadian sejati berada. Inilah yang kemudian menjerumuskan manusia ke dalam akhlak tercela serta menjauhkan dirinya dari nilai-nilai ketakwaan.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Puasa Ramadhan datang sebagai obat bagi kelalaian ini. Ketika seseorang berpuasa, ia mulai merasakan kelemahan dirinya. Lapar dan dahaga menyadarkan manusia bahwa ia hanyalah makhluk yang penuh keterbatasan. Ketika perut kosong, ia memahami betapa besar kebutuhannya kepada rahmat dan kasih sayang Allah. Lapar yang ia rasakan membuka pintu kesadaran bahwa segala sesuatu yang ia miliki, baik makanan, minuman, maupun kesehatan, semuanya adalah nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Dalam keadaan ini, hati yang bersih akan tergerak untuk mengetuk pintu ampunan Allah dengan penuh kerendahan hati. Kesombongan yang sebelumnya menguasai dirinya perlahan luntur. Ia merasakan kefakiran sejatinya di hadapan Allah, sehingga ia lebih mudah bersyukur dan merendahkan diri dalam doa dan munajat. Maka, puasa tidak hanya melatih fisik, tetapi juga mendidik jiwa agar lebih dekat kepada Rabb-nya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi pengingat bahwa tidak semua orang mampu meraih hikmah dari puasa. Jika kelalaian masih menyelimuti hati, maka puasa hanya akan menjadi sekadar menahan lapar dan dahaga tanpa makna yang mendalam. Oleh karena itu, hendaknya kita semua menjadikan puasa sebagai sarana untuk benar-benar membersihkan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan mengikis segala bentuk keangkuhan dalam diri.
Semoga Allah menjadikan Ramadhan kali ini sebagai momentum perubahan bagi kita semua, sehingga kita dapat keluar darinya sebagai insan yang lebih bertakwa. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sumber: Said Nursi, Misteri Puasa, Hemat dan Syukur