Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Mudir Pesantren At-Tin UMP, MTT Kab. Tegal
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memegang esensi ajaran kasih sayang bagi semesta, yang mana seluruh umat manusia, tanpa memandang latar belakang, berhak untuk merasakan kedamaian dan keadilan. Al-Qur’an mencatat dengan jelas bagaimana nilai-nilai toleransi menjadi pilar penting dalam kehidupan beragama, seraya mengedepankan pemahaman bahwa perbedaan adalah bagian dari keberagaman ciptaan Tuhan. Namun, di era globalisasi ini, ajaran tersebut tak selalu mudah untuk diaktualisasikan. Tantangan realitas kehidupan, yang dipenuhi dengan silang sengkarut pemahaman dan kepentingan, seringkali menyulitkan kita untuk menerjemahkan toleransi secara utuh dan adil.
Globalisasi, yang kini menyelimuti hampir seluruh aspek kehidupan, membawa kita pada pertemuan-pertemuan antarbudaya yang terus berkembang. Interaksi ini menciptakan ruang terbuka bagi setiap keyakinan untuk saling berpapasan. Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas untuk saling mengenal dan memperluas wawasan tentang keberagaman. Di sisi lain, keragaman juga berisiko memicu konflik bila perbedaan itu tak diimbangi dengan rasa saling menghargai. Sehingga, menjaga kerukunan menjadi upaya yang sangat relevan dalam merespons perubahan zaman, khususnya bagi umat Islam yang memegang prinsip rahmatan lil ‘alamin sebagai landasan hidup.
Untuk menjaga kerukunan, upaya paling mendasar yang perlu dilakukan adalah menolak segala bentuk pemaksaan dan penyeragaman yang dapat merusak kebinekaan. Memaksakan pandangan, baik secara rasional maupun irasional, hanya akan membatasi ruang kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Ketika perbedaan pandangan dihargai dan dihormati, kita akan lebih mampu menikmati perbedaan tersebut sebagai kekayaan intelektual dan budaya yang konstruktif. Dengan demikian, toleransi bukan sekadar jargon, melainkan prinsip hidup yang terus dijaga agar setiap pandangan dan keyakinan dapat berkembang secara produktif tanpa tekanan.
Mari merenung sejenak, bila kita berkaca pada sejarah, para pendiri bangsa telah berupaya keras membangun fondasi negara yang mengakomodasi keberagaman pandangan, khususnya dalam aktualisasi ajaran Islam. Bentuk konstitusi dan kementerian agama yang kita miliki saat ini adalah refleksi dari kehidupan beragama yang harmonis dan inklusif, di mana perbedaan keyakinan mendapat perlindungan hukum dan tempat yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang berkembang di Indonesia sederhana saja: iman dan kemanusiaan. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan dan aturan hidup harus dilandasi dengan rasa kasih sayang yang berakar pada iman kepada Tuhan serta kemanusiaan. Maka, membangun harkat dan martabat manusia adalah tujuan luhur yang melekat dalam ajaran Islam. Kemanusiaan menjadi titik fokus yang melampaui batas subjektivitas dan objektivitas, di mana keduanya menjadi fondasi yang seimbang dalam menumbuhkan rasa cinta dan toleransi di tengah masyarakat. Karena sejatinya, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bukan hanya bagi kaum Muslim, tetapi juga bagi seluruh umat manusia dan semesta alam.
Dalam merespons tantangan global, toleransi yang kita bangun perlu dilandasi pemahaman mendalam akan hakikat rahmat itu sendiri. Islam bukanlah agama yang semata untuk diperdebatkan, tetapi untuk dipraktikkan dalam bentuk nyata. Ia mengajarkan kasih sayang yang mengalir dalam setiap aspek kehidupan, membawa kita pada makna keberagamaan yang penuh kedamaian.
Sumber:
Dalam Buku Alwi Shihab, Islam dan Kebhinekaan, Sub. Appendix oleh Prof. Abdul Malik Fajar: Islam Rahmatan Lil Alamin